Home » KTI » Konservasi » Spesies Invasif di Kawasan Perairan Hakatutobu

Spesies Invasif di Kawasan Perairan Hakatutobu

Hakatutobu adalah salah satu desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Sebagian wilayah desa Hakatutobu merupakan daerah pesisir yang dihuni oleh nelayan dari berbagai suku seperti Bajo, Bugis dan Mekongga. Khususnya di Kampung Baru Desa Hakatutobu dengan mudah kita menjumpai puluhan rumah di atas laut yang menjadi ciri khas orang Bajo yang membentuk perkampungan yang cukup ramai dimana jembatan menjadi penghubung antara rumah penduduk satu sama lain. Bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Bugis tetapi pada umumnya mereka juga bisa menggunakan Bahasa Indonesia.

Sekitar tahun 1960, Hakatutobu hanya merupakan kebun masyarakat Pomalaa, dan tidak ada penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Tahun 1976 daerah ini mulai dihuni oleh penduduk. Hakatutobu lalu menjadi desa sendiri setelah terjadi pemekaran Desa Tambea dan Desa Sopure pada tahun 1999. Saat ini penduduk Hakatutobu telah mencapai jumlah sekitar 400 kepala keluarga. (Sumber: Masyarakat Desa Hakatutobu).

Sekitar tahun 1960, potensi tambang Pomalaa telah mendapat perhatian Aneka Tambang dan menurut masyarakat Hakatutobu Antam mulai masuk ke daerah mereka saat itu. Selama kurun waktu 20 tahun belum ada dampak lingkungan yang begitu terasa bagi penduduk setempat. Pada tahun 1985 checkdam penampungan limbah tambang Antam jebol dan menyebabkan serentetan efek ekologis yang melanda wilayah Hakatutobu khususnya ekosistem pesisir dan lautnya.

Dampak pertama yang dirasakan masyarakat yang awam tentang ekosistem pesisir adalah adanya sedimentasi yang menyebabkan tertutupnya ekosistem pantai berpasir dan padang lamun serta menutup akar napas dari tumbuhan mangrove sehingga dalam waktu yang relatif singkat populasi biota penghuni ketiga ekosistem tersebut menurun. Yang paling bisa dirasakan masyarakat setempat adalah pesisir yang dulunya mudah dilewati karena pantainya berpasir, belakang menjadi sulit dilewati karena sudah tertimbun lumpur yang tingginya bahkan mencapai lutut orang dewasa dan sulit dilewati. Lumpur tersebut juga meninggalkan gatal yang susah hilang di kulit sehabis terendam lumpur.

Tahun 2000 ke atas muncullah spesies baru di perairan. Spesies baru tersebut sepintas terliht seperti tumbuhan air tawar, tetapi karena tumbuhnya di air laut maka dia bisa termasuk alga, hanya saja jenisnya yang belum diketahui oleh penduduk lokal. Hingga saat ini kepadatan populasi lumut sutera berwarna hijau itu semakin meningkat sehingga menutupi hampir seluruh pantai yang terendam air laut. Disebut lumut sutera karena kondisi lumut saat kering seperti kapas.

Menurut beberapa literatur, spesies inpasif atau alien species dikenali dari munculnya spesies baru yang berbeda dari spesies yang ada, yang biasanya disebabkan oleh adanya intrusi bahan dari luar ke dalam perairan. Deskripsi “invasif” didasarkan pada penyebaran geografis dan/atau dampak yang diterima oleh jenis asli (native species) dan ekosistem. Spesies invasif pada perairan yang umumnya ditemukan selama ini adalah spesies ikan. Dokumentasi jenis asing (alien species) adalah hal yang selama ini sangat sulit dilakukan, dan hasilnya terkadang juga tidak meyakinkan. Tetapi untuk kasus yang terjadi di Hakatutobu jenis spesies baru yang sementara ini diduga invasif adalah tumbuhan sejenis alga yang dikenal dengan sebutan lokal sebagai lumut sutera.

Apa saja dampak yang dirasakan oleh nelayan Hakatutobu akibat invasi spesies baru ‘lumut sutera’ yang mulai muncul sejak era 2000-an dan terus meningkat kepadatannya sampai saat ini? Keberadaan alga tersebut sangat mengganggu masyarakat setidaknya dalam empat hal yang merupakan aktivitas utama masyarakat Hakatutobu. Rumput sutera mengganggu kegiatan budidaya rumput laut. Alga juga menghambat pertumbuhan karang bahkan mematikannya karena menutupi permukaan terumbu karang. Aktivitas lalu lintas nelayan juga terganggu oleh alga karena merusak propeller yang kerap tersangkut pada rumput sutera tersebut. Selain itu, aktivitas penangkapan ikan juga terganggu karena alat tangkap jaring cenderung tersangkut pada rumput sutera. Ironisnya, spesies invasif ini menggeser posisi alga yang sebelumnya menghuni perairan, tetapi tidak menarik minat ikan untuk memakannya.

Menurut Anonim (2013) bahaya yang ditumbulkan oleh jenis invasif antara lain:

  • Perubahan habitat
  • Kompetisi dengan jenis asli
  • Terganggunya rantai makanan
  • Tergantikannya jenis asli
  • Kawin silang (hybridization) dengan jenis asli
  • Menggagalkan upaya konservasi
  • Memberi pengaruh negatif terhadap kegiatan manusia,termasuk kesehatan, rekreasi dan ekonomi
  • Introduksi penyakit, hama dan vektor penyakit

Kondisi tersebut di atas sesungguhnya sudah dialami oleh masyarakat Hakatutobu, tetapi minimnya penelitian dan publikasi sehingga membuat kondisi itu terus berjalan begitu saja tanpa kendali dan upaya menghambat pertumbuhannya, alih-alih menghilangkannya, tidak pernah dilakukan kecuali atas inisiatif masyarakat sendiri yang cenderung terbatas. Dampak secara ekonomi akibat spesies invasif ini dirasakan oleh masyarakat, tetapi tiada daya untuk mereka untuk menanggulanginya. Diharapkan tulisan ini mampu menggugah setiap pembaca untuk memberi sumbang saran atau hasil penelitian untuk membantu masyarakat menanggulangi dampak lingkungan yang melanda wilayah pencaharian nafkah keluarga mereka.

Anonim, 2013. Dampak dari dan Ke Perikanan. Modul Pelatihan Konservasi Perikanan Berkelanjutan, Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Ambon.

Penulis: Agussalim, S.Pi, M.Si (Trainer Konservasi BPPP Ambon)

Baca Juga

Penilaian DUPAK Penyuluh Perikanan Dihadiri Kapuslatluh dan Kadis Perikanan Ambon

Senin, 22 Februari 2021, pada kesempatan membuka acara Penilaian Angka Kredit Penyuluh Perikanan Satminkal BPPP …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *