Home » KTI » Konservasi » MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT MENGHADAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI MALUKU

MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT MENGHADAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI MALUKU

Oleh : Agussalim (Trainer dan Penggerak Konservasi Kawasan Timur Indonesia)

I. Mengenal Maluku Dan Prediksi Dampak Perubahan Iklim Di Masa Depan

  1. Potensi Sumberdaya Maluku sebagai wilayah kepulauan

Maluku adalah wilayah kepulauan yang didominasi ioleh lautan, dimana persentase laut sebesar 92% sedangkan daratan hanya lebih dari 7%. Maluku merupakan salah satu provinsi yang terletak di kawasan timur Indonesia. Menurut letak astronomisnya, wilayah Provinsi Maluku terletak antara 20 – 90 Lintang Selatan dan 1240 – 1360  Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan adalah 581,376 km2 , terdiri dari luas lautan 527.191 km2  dan luas daratan 54.185 km2. Maluku merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau besar dan kecil sebanyak 1.340 pulau dan panjang garis pantai 11.000 km, (DAI, 2018). Kondisi kepulaun semacam ini memberikan karakterisitik tersediri yang berbeda dengan wilayah dengan daratan yang lebih luas. Karakteristik alam yang berbeda, berefek pada karakter sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang juga berbeda.

Dari kondisi kepulauan yang menyebabkan masyarakat terhubung melalui laut, menyebabkan kondisi sosial dan kultur masyarakat didominasi oleh kultur bahari yang akrab dengan laut. Pemukiman masyarakat cenderung berada di pesisir, segala aktivitas banyak dilakukan di pesisir. Bahkan sebagian masyarakat berpandangan bahwa pesisir dan laut cenderung membentuk karakter masyarakat menjadi keras dan kuat, sebagai akibat dari kondisi alam yang ditempatinya. Suara lebih keras karena harus bersaing dengan suara ombak di saat musim ombak, pelaut cenderung keras karena berkutat dengan dunia lautan yang juga keras dan membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat.

Kondisi kepulauan juga menyebabkan sumber-sumber pendapatan masyarakat dominan bersumber dan bergantung pada hasil laut. Ekonomi masyarakat pesisir banyak digantungkan melalui produk laut seperti menjadi nelayan, pembudidaya ikan, pembudidaya rumput laut  atau budidaya udang, teripang dan sebagainya. Pendapatan masyarakat juga banyak berasal dari jasa kelautan seperti transportasi laut, pariwisata, guiding dan sebagainya. Banyak pula masayarakat pesisir yang memilih menjadi pemasar berbagai produk, tidak terbatas pada produk perikanan. Hal tersebut disebabkan karena sejak jaman dahulu kala, laut menjadi pengubung antar daerah, adanya para pemasara merupakan aktor utama yang menjadi jembatan konektivitas antar daratan bisa berlangsung.

Sebagai wilayah kepulauan, Maluku sejak dahulu dikenal kaya dengan produksi ikan dan hasil laut. Selain itu Maluku juga dikenal sebaga daerah penghasil rempah, yang diketahui sampai ke masyarakat mancanegara. Maluku memiliki kelimpahan hasil laut dengan beragam biota, baik ikan, krustacea, kekerangan, dan sebagainya. Lahan pertaniannya juga sangat subur, sehingga ditumbuhi berbagai jenis tanaman dan buah dengan subur dan hasil melimpah. Sehingga meski luas daratannya kurang dari sepersepuluh lautnya, tetapi sangat produktif, dan cenderung memiliki lahan yang masih tidur karena belum terjamah penduduk.

 

2. Prediksi Dampak Perubahan Iklim di Maluku

Potensi dan ancaman selalu seperti dua sisi mata uang. Ketika di suatu sisi Allah Sang Pencipta memberikan segala potensi dan peluang kesejahteraan, disisi lain Allah mengingatkan adanya akibat yang akan terjadi terhadap alam sebagai akibat ulah tangan manusia. Menurut DAI (2018), emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran minyak, batubara, dan juga pembukaan hutan, telah menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim ini sangat luas, mencakup banyak sektor dalam kehidupan manusia dan dapat disaksikan di semua daerah. Suhu rata-rata global terus meningkat. Tahun 2015 dan 2016 tercatat oleh World Meteorogilcal Organization (WMO) sebagai tahun terpanas dalam seratus tahun terakhir. Kejadian cuaca ekstrem semakin sering terjadi dan pola musim semakin sulit diperkirakan. Demikian halnya dengan yang terjadi di Maluku.

Perubahan iklim akan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, banjir, dan longsor. Sektor yang akan terdampak antara lain adalah: pertanian, perikanan, lingkungan hidup, air bersih-sanitasi, infrastruktur, kesehatan, dan penanggulangan bencana. Risiko perubahan iklim dihadapi oleh semua lapisan masyarakat, namun kelompok masyarakat yang akan paling merasakan dampak perubahan iklim adalah petani, nelayan, dan penduduk miskin perkotaan. Penghasilan mereka akan menurun sementara ancaman bencana akan semakin tinggi. Dari sudut pandang gender, ibu-ibu rumah tangga juga akan merasakan beban yang lebih berat jika terjadi cuaca ekstrem, banjir, atau kekeringan. Provinsi Maluku juga tidak terlepas dari dampak perubahan iklim ini, (DAI, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian APIK (Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan) USAID yang telah bekerja bersama masyarakat selama sekitar 3 tahun di Maluku, diperoleh banyak data lingkungan dan predikisi kondisi yang berpeluang terjadi di Maluku, (DAI, 2018).

USAID APIK (2018) merilis data bahwa ada 3 jenis potensi bencana yang berpeluang besar terjadi di hampir seluruh wilayah Maluku dengan instensitas beragam. Potensi bencana tersebut adalah kekurangan air bersih dan kekeringan, banjir karena debit hujan yang besar, dan longsor saat musim hujan. Data tersebut diperoleh melalui kajian yang pada akhirnya akan memperlihatkan tingkat risiko yang dimiliki masing-masing bidang strategis di Provinsi Maluku.

Menurut DAI (2018), untuk melakukan analisis ancaman iklim diperlukan informasi tentang perubahan dan variabilitas iklim yang mungkin terjadi pada periode 30 tahun ke depan. Proyeksi Iklim adalah hasil simulasi model iklim yang memberikan gambaran respons dari sistem iklim terhadap skenario emisi gas rumah kaca (GRK). Skenario iklim adalah deskripsi keadaan (sosio-ekonomi, energi, lingkungan, dll.) di masa yang akan datang yang akan mempengaruhi kondisi iklim. Data historis akan memberikan gambaran baseline iklim yang selama ini ada. Data ini dapat juga digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara indeks cuaca ekstrem dan kerugian yang ditimbulkan di masa lalu.

Dari catatan kejadian bencana di Provinsi Maluku selama seratus tahun terakhir, bencana terkait iklim merupakan bencana yang paling sering terjadi dan paling banyak menyebabkan kerugian. Menurut BNPB, antara tahun 2007 hingga tahun 2017, 73% bencana yang terjadi di Provinsi Maluku adalah bencana terkait hidrometeorologi. Hujan deras telah sering menyebabkan banjir bandang dan longsor di Pulau Ambon dan pulau-pulau lain. Kekurangan air bersih juga sering terjadi di Maluku terutama di Kota Ambon. Pengaruh El Nino dan La Nina berdampak pada perikanan tangkap. Kejadian gelombang tinggi juga sering mengakibatkan kecelakaan perahu di laut. Kerugian dan kerusakan akibat bencana hidrometeorologis ini cenderung akan semakin besar di masa mendatang, (DAI 2018).

Proyeksi masa depan perubahan suhu udara rata-rata di Maluku hasil statistical downscaling dari IPCC Global Climate Model yang dilakuan oleh Gede Junaedhi dan Joko Trilaksono, pada 2017, menunjukan kenaikan suhu udara antara 0,5oC sampai 1,5oC. Proyeksi ini diperhitungkan dengan skenario emisi gas rumah kaca sedang, yaitu RCP 4.5. Skenario ini digunakan oleh BMKG karena dianggap moderat dan cocok dengan emisi yang ada di Indonesia. Grafik proyeksi rata-rata suhu tahun 2025 menunjukkan Maluku mengalami kecenderungan naik di suhu minimum yang menandai bahwa wilayah ini telah terindikasi terjadi perubahan iklim. Tren meningkat pada tahun 2026-2035 yang memberikan gambaran bahwa potensi terjadinya kekeringan di musim kemarau maupun banjir di musim penghujan semakin meningkat. Selain itu, bahwa wilayah Maluku mengalami perubahan iklim dapat dilihat dari tren suhu yang meningkat pada tahun 2036-2045. Hal ini menimbulkan potensi kejadian bencana alam yang semakin meningkat seperti banjir yang tinggi di beberapa wilayah Provinsi Maluku.

 

II. Membangun Ketangguhan Masyarakat

Untuk mengurangi dampak tersebut perlu dilakukan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Pemerintah Indonesia, dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, telah menyatakan komitmennya untuk melakukan adaptasi dan membangun ketangguhan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah serangkaian upaya transformasi untuk mengurangi risiko dari tekanan (stressor) iklim dan mengambil manfaat dari peluang baru yang muncul. Namun sebelum itu, untuk membuat adaptasi yang benar perlu dibuat dulu kajian kerentanan dan risiko iklim. Kajian kerentanan dan risiko iklim adalah serangkaian analisis yang didasari informasi proyeksi iklim yang ilmiah untuk memperkirakan dan memetakan risiko iklim.

  1. Penyadartahuan Terhadap Adanya Ancaman Resiko Perubahan Iklim

Perubahan iklim berlangsung dalam rentang waktu yang lama sehingga bisa jadi tidak dirasakan oleh satu generasi yang lahir setelah perubahan. Perubahan itu hanya akan diketahui jika seseorang membandingkannya dengan kondisi jauh sebelumnya, melalui literatur atau keterangan dari orang-orang yang mengetahui perubahan tersebut. Dengan kata lain, pihak yang mengetahui perubahan tersebunya harusnya menyampaikan perubahan iklim melalui berbagai media, baik pendidikan maupun media sosial.

Kesadaran akan adanya perubahan iklim akan menyadarkan masyarakat akan adanya resiko yang bisa timbul akibat adanya perubahan tersebut. Jika masyarakat menyadari dengan baik hal tersebut akan membantu mereka melakukan upaya preventif untuk emminimalkan resiko atau melakukan persiapan-persiapan agar tetap bisa survive saat resiko terburuk benar-benar terjadi.

Contohnya jika salah satu resiko akibat perubahan iklim misalnya pola hujan yang berubah dari yang debitnya sedang menjadi debit besar dan berpotensi menyebabkan longsor, maka masyarakat dengan kesadarannya, akan berupaya menjaga keberadaan pohon-pohon besar. Mereka dengan kesadarannya melakukan itu karena meyakini bahwa pohon-pohon tersebut akan mampu menahan struktur tanah agar tetap kuat dan tidak longsor akibat hujan deras tersebut.

 

  1. Membangun Kapasitas Masyarakat

Menghadapi setiap perubahan, menuntut adanya kemampuan beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sehingga kapasitas untuk bisa bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan harus dimiliki masyarakat. Kapasitas tersebut terdiri atas tiga unsur yang saling berintegrasi yakni pengetahuan, ketarampilan dan sikap. Jika ketiga unsur kapasitas tersebut tidak lengkap maka kapasitas yang bersangkutan masih kurang.

Menghadapi resiko bencana dan kondisi tidak biasanya dari perubahan iklim, kapasitas masyarakat sangat menetukan kemampuannya beradaptasi dan survive atas perubahan iklim. Pengetahuan tentang perubahan iklim dan resiko bawaannya harus dimiliki oleh setiap orang agar mampu mempertahankan eksistensi individunya, dan harus dimiliki oleh masyarakat untuk tetap eksis secara kolektif. Keterampilan untuk menghasilkan hal-hal yang dbutuhkan untuk beradaptasi dan bertahan terhadap perubahan mutlak juga harus dimiliki oleh individu dan masyarakat. Sikap yang mendukung untuk meminimalkan resiko atas perubahan adalah bagian yang tidak bisa diabaikan, untuk bisa bertahan terhadap perubahan. Perpaduan tiga hal tersebut akan membantu masyarakat menjadi lebih tangguh menghadapi perubahan iklim.

  1. Membangun Ketangguhan Sumber Daya Alam

Setelah kapasitas  ketangguhan masyarakat terbangun, maka bagian penting berikutnya yang harus dilakukan adalah membangun ketangguhan sumber daya alam. Masyarakat sudah harus melakukan upaya-upaya penguatan struktur pantai dengan penanaman mengarove, rehabilitasi kerusakan karang dengan transplantasi, dan berbagai inovasi teknologi lainnya seperti bioreeftek atau biorock. Di sebelah daratan masyarakat melakukan penghijauan pada pinggiran sungai, dan menanam jenis pepohonan yang kuat.

Selain itu ketangguhan sumberdaya alam juga bisa dibangun melalui upaya penanaman pohon yang membantu menjaga debit air tanah. Pohon kurma misalnya, yang diyakini keberadaannya akan menimbulkan adanya sumur dalam tanah didekat pohon kurma tersebut. Upaya budidaya sumber pangan juga sangat penting untuk membantu mengantisipasi kekurangan pangan. Budidaya tersebut berupa varietas-varietas pertanian dan juga spesies-spesies peternakan dan perikanan. Sumberdaya alam yang bisa diperbaharui atau terbarukan harus dibangun ketangguhannya menghadapi perubahan, dan mencegah adanya upaya-upaya yang mengarah kepada melemahnya atau menurunnya ketangguhan tersebut.   

 

  1. Penegakan Aturan

Akan senantiasa ada bagian di masyarakat yang melakukan hal-hal yang kontraporduktif terhadap upaya membangun ketangguhan atas perubahan iklim. Hal itu bisa disebabkan oleh berbagai motif, yang dominan bermuara pada motivasi ekonomi. Tanah berbukit yang dikikis untuk diambil tanahnya menjadi timbunan bangunan rumah mengubah kontur tanah berbukit tersebut. Timbunan yang ditempatkan pada areal reklamasi pantai akan mengubah pola arus dan hilangnya habitat berbagai spesies perairan di tempat reklamasi tersebut. Pengerukan tanah, maupun reklamasi pantai tidak lepas dari motivasi ekonomi baik individu ataupun kepentingan kelompok yang lebih besar. Tetapi sejatinya hal tersebut telah merubah  kondisi sumberdaya alam dari tangguh menjadi rentan. Hal tersebut bahkan bisa didukung dengan berbagai tesis dari ilmuan, yang juga bisa berujung pada motivasi ekonomi.

Hanya dengan penegakan aturan yang benar, hal-hal yang menjadikan alam semakin rentan dengan resiko perubahan iklim, bisa diminimalkan. Jika kepercayaan terhadap penegakan aturan tidak ada, maka setiap pihak bisa melakukan hal yang merusak, karena tidak takut terhadap sangsi pelanggaran. Tetapi jika Negara berdiri menghadang upaya-upaya yang merusak atau berpotensi menyebabkan kerentanan alam, maka resiko perubahan bisa diantisipasi insya Allah.

 

  1. Membangun Contingensi Management Skill

Kontingensi manajemen skill adalah bagian dari kompetensi seseorang menghadapi kondisi yang sedang berubah. Bencana adalah sebuah kejadian yang tidak biasanya dan menyebabkan kerusakan. Setiap individu bisa saja memiliki sikap yang berbeda menghadapi sebuah bencana yang sedang terjadi. Contoh jika terjadi gempa bumi, seorang bisa sangat panik dan berlari ke luar ruangan, tetapi ada pula yang segera mengumpulkan kesadarannya dan memperhatikan potensi bahaya sebelum dia bergerak menghindari bahaya.

Sikap yang tepat terhadap kejadian yang tidak normal atau bencana perlu dibangun pada masyarakat. Upaya ini bisa dilakukan melalui sosialisasi dan simulasi. Sosialisasi dilakukan melalui berbagai media yang tersedia saat ini, termasuk pengadaan papan petunjuk dan papan informasi bencana. Simulasi bisa dilakukan dimasyarakat dengan mencontohkan bencana yang potensial terjadi, misalnya simulasi upaya penyelamatan diri saat gempa bumi, banjir, longsor atau tsunami, dan sebagainya.  

 

  1. Membangun Kemampuan Recovery Bencana

Saat bencana terjadi, efek kerusakan sulit terelakan, sehingga kerugian banyak dialami masyarakat yang terdampak bencana. Pada kondisi seperti itu, maka pilihan terbaik bagi masyarakat adalah bangkit kembali membangun diri dan tidak menyerah. Untuk bisa bangkit dan tumbuh kembali, masyarakat butuh kemampuan untuk recovery. Kemampuan recoveri harus dimiliki masyarakat agar tidak semata bergantung terhadap bantuan saat mereka ditimpa bencana.

Kemampuan recovery atas bencana tentu sulit dibangun jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk mendorong hal tersebut terjadi. Kemampuan itu sendiri bisa diberikan oleh pemerintah melalui pelatihan-pelatihan dan juga oleh LSM melalui pelatihan dan pendampingan. Mungkin membutuhkan waktu dan biaya, tetapi tidak akan sebanding dengan biaya dan kerugian yang akan ditanggung jika masyarakat tidak mampu lagi bangkit setelah bencana itu terjadi.

Pepatah lama bilang bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Menghadapi kondisi perubahan iklim saat ini dan peluang besar terjadinya berbagai bencana, maka palsafah leluhur itu harus kita gunakan. Melakukan upaya yang membangun ketangguhan adalah hal yang paling mungkin dilakukan menghadapi perubahan iklim global yang tidak mampu kita cegah. Dengan upaya maksimal untuk membangun ketangguhan masyarakat dan sumberdaya alam, kita berharap kita mampu bertahan atas perubahan dan tetap survive beradaptasi dengan semua bentuk perubahan tersebut, Wallahu A’lam.

Referensi :

DAI, 2018. Laporan Kajian Kerentanan dan Resiko Iklim Provinsi Maluku, USAID Adaptasi Perubahan Iklim (APIK).

Baca Juga

Penilaian DUPAK Penyuluh Perikanan Dihadiri Kapuslatluh dan Kadis Perikanan Ambon

Senin, 22 Februari 2021, pada kesempatan membuka acara Penilaian Angka Kredit Penyuluh Perikanan Satminkal BPPP …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *