Home » KTI » Potensi Gelembung Kakap dan Galangan Kapal Kumbe di SKPT Merauke

Potensi Gelembung Kakap dan Galangan Kapal Kumbe di SKPT Merauke

Kumbe adalah salah satu  kampung atau desa di Distrik Malind Kabupaten Merauke. Kumbe yang terletak di pesisir bagian Selatan Merauke berpenduduk sekitar 4000 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 2894, jumlah pribumi hanya mencapai 60 KK. Penduduk Kumbe 50% bermata pencaharian bertani, 40% berada di pesisir  dominan berprofesi sebagai nelayan, 10% penduduk bermata pencaharian sebagai pedagang, pegawai dan sebagainya. Kumbe merupakan salah satu dari dua pangkalan ikan terbesar di Merauke. Penduduk Kumbe dominan bukan penduduk asli atau pribumi.

Target tangkapan utama nelayan Kumbe adalah ikan kakap. Sekitar 70% nelayan Kumbe menangkap ikan kakap dan hanya 30% sisanya yang menangkap ikan konsumsi baik kakap dan selainnya. Hasil tangkapan berupa ikan kakap umumnya untuk diambil gelembungnya sedangkan daging ikan kakap hanya sebagai sampingan jika nelayan bisa mengolahnya dengan pengolahan sederhana menjadi dendeng, atau ikan asin. Hal itu karena nelayan tidak membawa es. Kakap segar hanya dibawa pulang saat menjelang kembali ke fishing base. Nelayan dengan target tangkapan kakap untuk diambil gelembungnya mayoritas adalah nelayan pendatang yang sudah bermukim lama di Kumbe. Mereka mengoperasikan alat tangkapnya yang berupa jaring berbahan nilon.

Nelayan asli Kumbe bersama sekitar 30% nelayan lainnya mengoperasikan jaring seret, jaring tancap, dan jaring hanyut. Jaring seret dioperasikan oleh nelayan lokal (penduduk asli). Jenis ikan tangkapannya berupa ikan kurau, belanak, kakap, ikan duri (mirip sembilang) dan udang. Jaring ini dioperasikan saat menjelang air surut, menghadang ikan yang akan segera kembali ke laut, dan diangkat saat air telah surut. Panjang jaring seret berkisar 20 meter dengan kedalaman jaring 1 sampai 2 meter. Mesh size (bukaan mata jaring) jaring seret ini tergolong kecil sekitar 1/4 inci sampai 1,25 inci, sehingga terdapat by catch berupa ikan duri ukuran kecil yang dibuang oleh nelayan. Hasil tangkapan tersebut dijual di pasar ikan. Selain jaring seret, di pesisir pantai nelayan juga mengoperasikan jaring tancap yang memanfaatkan pasang surut air laut dengan menghadang ikan-ikan saat air surut.

Terdapat pula nelayan skala kecil yang mengoperasikan jaring hanyut di fishing ground berjarak 2 sampai 3 mil dari pantai. Armada tangkap yang mereka gunakan adalah kapal dengan mesin motor dalam (katinting). Ikan target tangkapan mereka adalah ikan konsumsi.

Mengapa nelayan dominan mengambil gelembung ikan kakap?

Gelembung ikan kakap bisa mencapai berat 50 sampai 100 gram per ekor. Pada ukuran tertentu gelembung ikan tersebut bisa mencapai 400 gram per ekor. Yang menarik adalah harga gelembung tersebut yang bisa mencapai  12 juta hingga 13 juta per kilogram. Tetapi apakah setiap kakap yang tertangkap memiliki gelembung? Menurut nelayan ternyata tidak. Ada jenis kakap tertentu yang memiliki gelembung yaitu gulamah, kurau, kakap putih, red snapper dan manyun. Komoditas dengan harga tertinggi ada pada jenis red snapper (kakap merah) dan gulamah.

Berbagai jenis armada yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kakap, dibedakan berdasarkan kapasitas gross tonnage (GT) kapal. Perbedaan GT tersebut juga berpengaruh terhadap lama operasi penangkapan tiap trip dan jumlah jaring yang dioperasikan. Kapal dengan kapasitas 20 GT beroperasi tiap tripnya selama 1 sampai 1,5 bulan, sedangkan yang kapasitasnya 6 GT lama per tripnya berlangsung hanya satu hari. Jumlah jaring yang dioperasikan kapal berkapasitas 6 GT sebanyak kurang lebih 30 pis (keping). Sedangkan kapal berkapasitas 20 GT atau lebih mengoperasikan sedikitnya 100 pis. Satu trip armada dengan kapasitas 20 GT ke atas bisa memperoleh hasil sekitar 400 juta. Jumlah yang cukup besar untuk usaha penangkapan ikan.

Kendala Usaha Perikanan Kakap Kumbe

Hasil tangkap yang menggiurkan tersebut tentunya bukan berarti tidak ada kendala dan tantangan bagi nelayan. Kendala yang dihadapi masyarakat Kumbe adalah modal usaha yang tergolong besar, tidak adanya kapal penampung yang besar, dan tidak ada cold storage. Modal yang dibutuhkan untuk operasi penangkapan ikan kakap untuk memperoleh gelembungnya cukup besar. Modal usaha berupa kapal dan BBM untuk trip sejauh 5 sampai 30 mil dengan lama 1 sampai 1,5 bulan sudah tentu sangat besar. Harga jaring untuk menangkap kakap berkisar 1,5 juta per pis, sehingga bisa dibayangkan jumlah harga untuk 100 pis. Kendala ini membuat para nelayan pemula kesulitan memulai usaha ini.

Ikan-ikan kakap yang tertangkap dan telah diambil gelembungnya sebagian diolah menjadi dendeng atau ikan asin kering, dan sebagian lagi dibuang kembali ke laut (discard). Hal ini terjadi karena tidak ada kapal penampung besar yang mengambil ikan-ikan tersebut. Sesungguhnya hal ini adalah sebuah kerugian, tetapi nelayan tidak punya banyak pilihan. Selain itu di daratan Kumbe tempat nelayan mendaratkan kapalnya tidak terdapat cold storage untuk menampung hasil tangkapan nelayan dalam jumlah banyak. Sehingga pilihan terbaik nelayan saat harus bertahan dalam trip yang panjang adalah mengurangi beban muatan kapal dengan membuang daging-daging ikan kakap yang telah diambil gelembungnya.

Industri Galangan Kapal Kumbe

Hal lain yang tidak kalah populernya dari Kumbe adalah adanya industri pembuatan kapal di pinggir muara sungai Kumbe. Kapal yang diproduksi disini umunya adalah kapal ikan ukuran 20 sampai 30 GT. Selain itu jenis kapal kargo juga diproduksi oleh pengusaha kapal di Kumbe sesuai pesanan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh salah satu pengusaha pembuat kapal yang bernama Lawane (54 tahun) pada 19 Maret 2017, diperoleh berbagai informasi tentang industri ini. Menurutnya terdapat 8 orang pemborong (pengusaha) kapal di Kumbe dengan pekerja masing-masing sekitar 8 orang tiap pemborong, yang semuanya berasal dari Tanah Beru dan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Seperti diketahui bahwa salah satu daerah produsen kapal yang produktif adalah Tanah Beru tempat kapal Phinisi berasal.

Pemesan kapal-kapal tersebut pada umumnya adalah pengusaha dari Papua. Mungkin ini pula yang menjadi alasan Kumbe dipilih sebagai lokasi pembuatan kapal tersebut, karena selain adanya muara yang memudahkan kapal ke laut, juga karena kultur Kumbe yang kondusif karena terdiri atas masyarakat dengan berbagai suku dan agama ada di Kumbe. Selain itu, bahan pembuatan kapal berupa kayu berkualitas tinggi diperoleh dari daratan yang tidak terlalu jauh dari Kumbe yakni Wapake dan Seneki (termasuk wilayah Merauke). Jenis kayu yang diolah menjadi bangunan kapal adalah kayu besi, rahai dan bitanggor.

Hitungan kebutuhan bahan untuk pembuatan kapal disebutkan oleh Lawane, misalkan untuk pembuatan kapal 30 GT (biasanya terdiri atas 13 susun papan) membutuhkan kayu sebanyak 31 kubik dengan harga berkisar 2,5 juta per kubik. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah kapal ukuran 20 GT sekitar 1,5 bulan dan untuk ukuran 30 GT berkisar 4 bulan. Waktu pengerjaan kapal dipengaruhi oleh musim karena pengangkutan bahan bisa terkendala transportasi. Upah karyawan/pekerja dihitung per hari sebesar 170 ribu hingga 180 ribu. Bagi pengusaha yang belum memiliki tempat pembuatan sendiri akan menyewa lokasi tempat pembuatan kapal sebesar 1 juta sampai 1,5 juta per kapal.

Hasil yang diperoleh pengusaha kapal tersebut bergantung pada ukuran dan jenis kapal pesanan. Kapal dengan ukuran 37 GT dibandrol dengan harga 265 juta tanpa mesin dan belum dicat. Kapal dengan ukuran yang sama dihargai dengan harga 400 juta setelah selesai dicat dan tanpa mesin. Daya tahan kapal dipengaruhi pula oleh lapisan fiber pada kapal tersebut. Kapal kayu tanpa fiber diperkirakan bertahan sampai 40 tahun, sedangkan yang berlapis fiber bisa bertahan sampai 50 tahun.

Kendala Industri Kapal Kumbe

Pada kesempatan yang sama diperoleh informasi dari salah satu pengusaha yang memesan kapal, Ipe Ramli (50). Menurutnya kendala yang dihadapi pengusaha dan para pembuat kapal di Kumbe terdapat beberapa hal. Kendala pertama dan utama adalah fasilitas galangan yang masih tradisional, sehingga manajemen pengelolaan usaha tidak terkordinasi dengan manajemen modern. Kendala ini memunculkan masalah lain di antaranya tidak adanya penutup galangan, sehingga pada saat hujan turun, kapal dan material bahan akan kehujanan, serta menghambat proses pengerjaan kapal. Manajemen tradisional yang diterapkan pada usaha ini juga tidak mampu mengeliminir berbagai masalah manajerial seperti time skedul tahapan pengerjaan kapal sampai penyelesaian cenderung fleksibel, karena alasannya musim hujan. Juga tidak terdapat sistem agreement dalam pekerjaan seperti adanya sangsi atas keterlambatan pengerjaan dan sebagainya. Selain kendala manajerial tersebut, terdapat pula kendala alami yang dihadapi pengusaha yakni keterlambatan material kayu karena kesulitan transportasi akibat kerusakan jalan dari hutan tempat kayu-kayu tersebut diangkut.

Solusi terbaik menurut Ipe yang diharapkan saat ini adalah, industri galangan kapal tradisional di Kumbe mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk meningkatkannya menjadi tempat docking kapal baik open ship atau dry ship. Solusi ini akan mendatangkan berbagai keuntungan, selain mengeliminir berbagai kendala yang dihadapi selama ini, juga akan membuka lapangan kerja yang luas. Jumlah tenaga kerja yang akan terserap bisa berjumlah ratusan orang, karena jumlah kapal yang dilayani bisa mencapai ratusan bahkan ribuan kapal per tahun (contoh di Batam bisa melayani 1200 kapal per tahun). Tenaga kerja tersebut akan terserap pada bagian-bagian di dalam industri docking seperti bagian listrik, mesin, workshop, dan sebagainya selain pekerja kapal itu sendiri. Keberadaan docking juga akan menumbuhkan adanya koperasi usaha bahkan sampai pada terbangunnya badan usaha milik desa atau BUMD.

Artikel ini disusun oleh : Agussalim

Baca Juga

Pelatihan Diversifikasi Pengolahan Hasil Perikanan, Mendukung Maluku LIN, Mendapat Apresiasi Anggota DPD RI

Senin, 22 Februari 2021, pukul 10.00 WIT, Anna Latuconsina, SH, selaku Anggota Dewan Perwakilan Daerah …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *