Home » KTI » Konservasi » Sustainable Tourism in MPA With Triple Bottom Line: Economi, Ecology and Socio-Cultural

Sustainable Tourism in MPA With Triple Bottom Line: Economi, Ecology and Socio-Cultural

Tourism atau pariwisata pasti tidak asing di setiap telinga, tetapi jika dipadukan dengan kata sustainable atau berkelanjutan, maka sebagian besar orang akan bertanya apa itu sustainable tourism atau apa itu pariwisata berkelanjutan.

A. Dasar Pemikiran

Dewasa ini berbagi konsep tentang pengelolaan berkelanjutan bermunculan sebagai solusi atas kekurangan dari pengelolaan konvensional. Termasuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang di dalamnya terdapat keterlibatan masyarakat (community based management), sehingga ini merupakan konsep yang memadukan berbagai konsep pengelolaan.

Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan pariwisata bagi lingkungan alam dan masyarakat lokal, dan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dengan tidak menimbulkan kerusakan bagi sumber daya yang menjadi tumpuan pariwisata ini.

Pariwisata merupakan salah satu industri global terbesar dengan sebagian besar pertumbuhan pasar terpusat pada lingkungan alam yang masih murni. Keberadaan lokasi wisata dirasakan semakin menarik minat pengunjung asing, serta warga setempat. Pariwisata dapat memberikan manfaat kepada masyarakat lokal dan pengunjung melalui penggenjotan pendapatan dan lapangan kerja. Namun, pariwisata juga dapat mengancam sumber daya yang terdapat di dalam wilayah dimana objek wisata tersebut berada jika pelaksanaannya menyebabkan kerusakan habitat, mengganggu satwa liar dan mempengaruhi kualitas dan daya dukung lingkungan. Pariwisata juga dapat mengancam masyarakat karena terjadinya pembangunan yang berlebihan, kebisingan yang bersumber dari kerumunan orang, dan mengganggu budaya lokal. Selain itu, pariwisata konvensional sering tidak menguntungkan masyarakat lokal karena adanya ‘kebocoran’ pendapatan yang diterima dari wisatawan yang jatuh ke tangan operator dari luar. Akibatnya, pariwisata dapat menghancurkan sumber daya yang sangat menjadi tumpuannya. Sebaliknya, pariwisata berkelanjutan dari awal sudah direncanakan untuk menguntungkan penduduk lokal, menghormati budaya lokal, melestarikan sumber daya alam, memberikan lebih banyak keuntungan kepada masyarakat lokal dan KKP, dan mendidik baik wisatawan maupun penduduk lokal tentang pentingnya konservasi.

Ora BeachSebuah objek menjadi objek wisata karena aspek keindahannya yang mengundang orang untuk melihatnya. Tetapi ketika pengunjung berdatangan, maka tidak ada jaminan bahwa keindahan itu akan bertahan dan senantiasa menarik minat pengunjung. Kedatangan pengunjung sedikit banyaknya akan berdampak secara ekologis terhadap potensi keindahan alam objek wisata. Ketika ambang batas toleransi dampak dan daya dukung lingkungan pada sebuah tempat terlewati maka kerusakan pasti mulai terjadi. Dan kerusakan itu akan berlangsung terus jika tingkat kerusakan melebihi kemampuan recovery (kemampuan memulihkan diri) sumberdaya.

Keberadaan sebuah objek wisata di suatu tempat tidak bisa menjadi jaminan bahwa masyarakat setempat mendapat keuntungan secara ekonomis dari kegiatan wisata. Jika sebuah objek telah dikontrak oleh sebuah perusahaan atau person maka peluang ekonomi untuk masyarakat lokal hampir tertutup dan hanya dikuasai oleh pihak pengontrak. Hal ini terjadi di beberapa objek wisata seperti halnya Ora Beach, Teluk Saleman di Seram Utara, Maluku Tengah. Padahal idealnya adalah keberadaan sebuah objek wisata harus dirasakan dampaknya secara ekonomis oleh seluruh masyarakat lokal.

Setiap objek wisata baik bahari maupun wisata alam pegunungan dan wisata lainnya, biasanya sangat berkaitan erat dengan kultur masyarakat setempat. Kultur masyarakat tersebut adakalanya tidak diketahui oleh pengunjung objek wisata disebabkan karena kurangnya sosialisasi baik oleh aparatur pemerintah setempat ataupun oleh masyarakat local atau tour guide yang memandu para pengunjung. Keberadaan objek wisata adakalanya menjadi factor yang mempengaruhi terdegradasinya nilai budaya local bahkan bisa menghilangkan nilai budaya masyarakat dan berganti dengan budaya para pengunjung yang cenderung asing.

Pengetahuan masyarakat tentang kegiatan pariwisata sejauh ini sebagian besar masih didominasi oleh pikiran konvensional dan sebatas pengetahuan tentang dampak jangka pendek yang bisa dirasakan tetapi belum mampu menganalisis dampak yang bisa timbul di kemudian hari. Sebagai Negara kepulauan Indonesia banyak memiliki potensi wisata bahari. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebuah objek yang menarik cepat atau lambat akan diketahui oleh masyarakat luas yang akan berdatangan untuk melihatnya dari dekat. Oleh karenanya konsep pengelolaan berkelanjutan harus secara dini telah dipikirkan sebelum sebuah objek tereksploitasi dan mengalamai degradasi. Konsep yang dimaksud diharapkan meminimalkan dampak dan meningkatkan pendapatan masyarakat local dengan tetap menjaga nilai budaya dan social masyarakat setempat untuk tetap lestari.

Melalui konsep pengelolaan berkelanjutan, maka diharapkan keberadaan sebuah destinasi wisata akan memberikan dampak ekonomis masyarakat, akan meminimalkan dampak ekologis bagi lingkungan sumberdaya alam dilokasi wisata dan sekitarnya serta menjaga kelestarian kultur masyarakat local yang secara social menjadi identitas dan pola hidup masyarakat tersebut serta telah dilaksanakan secara turun temurun. Dengan pengelolaan berkelanjutan juga diharapkan objek wisata tersebut akan eksis dalam jangka waktu yang sangat panjang.

 

B. Seperti Tambang Emas

Keberadaan sebuah tempat yang secara estetika akan menarik minat orang untuk berkunjung sesungguhnya merupakan sebuah isyarat dari Tuhan bahwa sebuah anugerah besar Dia tempatkan disana sebagaimana Dia menempatkan sebuah tambang emas. Terdapat potensi ekonomi dalam jumlah tidak tak terhingga, tetapi sangat potensial untuk mensejahterakan masyarakat lokal dan sekitarnya. Dalam perjalanan waktu kemudian, tangan manusia yang mengelolanyalah yang menjadi penentu berdampak positif atau tidaknya keberadaan objek wisata atau tambang emas tersebut.

Sebuah tambang emas yang telah diketahui keberadaannya akan mengundang minat banyak orang untuk dating menggali dan mencari emas atau menjual segala sesuatu yang dibutuhkan para penambang emas. Jika penambangan tersebut dibebaskan untuk dikelola secara sesuka hati para penambang maka akan semakin banyak orang yang berdatangan dan banyak pula yang mendapatkan keuntungan. Tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, potensi tambang tersebut akan berkurang dan semakin habis. Pada saat itu tiba, maka para penambang akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari lokasi tambang yang baru. Lokasi bekas tambang akan tersisa menjadi seperti sarang-sarang binatang, dan jika itu terdapat pada sebuah pulau maka akan menjadi pulau hantu. Yang tersisa adalah bekas-bekas bangunan dan lobang-lobang tambang serta seperangkat alat tambang yng sudah tidak layak pakai, tanpa seorang manusia bahkan mungkin tanpa seekor binatang sekalipun.

Demikian halnya sebuah objek wisata berpotensi mengalami hal yang sama jika tidak dikelola secara benar yang memperhatikan kaidah-kaidah ekologis, ekonomis dan sosio-kultural. Sebuah objek wisata yang dulunya menarik dan dikunjungi banyak wisatawan bisa kehilangan daya tarik ketika sumberdaya alamnya rusak oleh pengunjung yang hanya tau menikmati dan meluapkan kesenangan berwisata, karena tidak adanya aturan main yang berlaku di tempat tersebut. Ketika sumberdaya yang menjadi pesona dan daya tarik wisata itu rusak maka tempat itu kemudian akn kehilangan pengunjung, dan para pelaku ekonomi pun akan beranjak karena tidak mendapatkan keuntungan apa-apa lagi. Yang tersisisa hanyalah jejak-jejak para wisatawan bersama sumberdaya yang telah rusak dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pemulihannya.

Perbandingan di atas bisa menjadi bahan renungan bahwa harus ada upaya preventif untuk mencegah kerusakan sumberdaya pada objek wisata. Tidak tepat jika konsep pengelolaan diharapkan muncul seiring dengan semakin banyaknya pengunjung yang semakin tak terbendung. Harus ada ambang batas tolerasi dampak yang ditimbulkan pengunjung pada objek yang sudah harus dianalisis dan ditetapkan lebih dini. Harus ada kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan bersama oleh segenap pemilik kepentingan (stakeholder) untuk mencegah terjadinya dampak negative. Dan harus ada manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang sudah disiapkan sebelum objek tersebut benar-benar dibuka untuk pengunjung. Jika tidak demikian, maka efek penambang liar akan terjadi pada objek wisata yang kita miliki.

 

C. Pariwisata konvensional versus pariwisata berkelanjutan

Pariwisata berkelanjutan sebagai sebuah konsep yang lahir dari kebutuhan akan keberlanjutan aktivitas wisata memiliki beberapa perbedaan dengan pariwisata konvensional. Pariwisata konvensional sasarannya adalah keuntungan semata, sedangkan sasaran pariwisata berkelanjutan selain kentungan juga lingkungan dan masyarakat. Tentu saja dalam segi perencanaan pengelolaan pariwisata berkelanjutan lebih direncanakan dengan baik. Pariwisata konvensional lebih fokus pada penyediaan hiburan untuk meningkatkan jumlah wisatawan dan cenderung dikontrol oleh pihak luar. Sedangkan pariwisata berkelanjutan berfokus pada pengalaman yang mendidik dan dikendalikan secara lokal. Masyarakat lokal dan upaya konservasi bukanlah prioritas bagi pariwisata konvensional, tetapi dua hal itu prioritas bagi pariwisata berkelanjutan. Pada akhirnya keuntungan pariwisata akan lebih banyak lari keluar pada pariwisata konvensional, tetapi sebaliknya akan dinikmati oleh masyarakat lokal jika dikelola dengan pengelolaan berkelanjutan.

1. Pariwisata dan lingkungan

Berdasarkan perbedaan pola pengelolaan yang dilakukan terhadap sebuah objek wisata, maka akan berbeda dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan objek wisata tersebut dan sekitarnya. Pariwisata konvensional yang dikelola untuk mecapai keuntungan sebesar-besarnya akan cenderung menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan antara lain :

– Degradasi lingkungan sumberdaya alam. Pariwisata konvensional akan menurunkan kualitas lingkungan disebabkan besarnya tekanan pengunjung yang tidak terbatasi. Akibatnya sebagian sumberdaya berada pada tekanan yang tinggi dan mengancam kerusakannya bahkan kepunahannya secara lokal. Sumberdaya alam juga cenderung sensitive dan rentan terhadap perubahan disebabkan tekanan kegiatan wisata tersebut.

– Polusi. Pariwisata konvensional akan berakibat pada peningkatan polusi, emisi udara, dan limbah padat. Sampah akan menumpuk di lokasi wisata konvensional disebabkan tidak adanya pengelolaan sampah dan pembatasan pengunjung. Sampah dan polusi akan menurunkan kualitas lingkungan objek wisata.

– Dampak fisik akibat adanya konstruksi dan pengembangan prasarana. Focus pada penyediaan sarana hiburan untuk pengunjung akan menyebabkan pertambahan jumlah konstruksi dan pengembangan prasarana. Hal tersebut tentu saja berakibat pada semakin sempitnya area untuk sumberdaya di lokasi wisata bisa tumbuh dengan baik.

Akan sangat berbeda dengan pariwisata yang dikelola dengan pengelolaan berkelanjutan. Pada pariwisata berkelajutan, yang prioritasnya pada masyarakat lokal dan upaya konservasi, yang diperoleh justru konrtibusi berupa :

– Kontribusi keuangan. Kontribusi keuangan akan diperoleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Kontribusi langsung ketika pengunjung memanfaatkan jasa yang telah disiapkan oleh masyarakat lokal, sedangkan kontribusi tidak langsung diperoleh dari pengelolaan keuangan retribusi pengunjung yang sebagian di arahkan kepada pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat lokal, PAD, dan konservasi (hal ini telah dilakukan di objek wisata KKP Raja Ampat, papua Barat).

– Manajemen yang baik. Pengelolaan pariwisata berkelanjutan memiliki manajemen yang baik yang secara proporsional memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, keuntungan ekonomi bagi masyarakat, dan terjaganya nilai social cultural dari masyarakat di lokasi objek wisata.

– Kesadaran lingkungan. Pariwisata berkelanjutan yang berfokus pada pengalaman yang mendidik dan dikendalikan secara lokal akan membangun kesadaran lingkungan bagi para pengunjung dan masyarakat lokal. Sehingga pengujung dan masyarakat dengan kesadaran sendiri akan menjaga kelestarian lingkungan, karena yang akan merasakan dampak dari kelestarian itu adalah mereka sendiri.

– Perlindungan dan kelestarian. Pariwisata berkelanjutan membuat upaya perlindungan dan kelestarian lingkungan tidak hanya berasal dari kesadaran masyarakat dan pengunjung tetapi juga dalam bentuk legislasi dan regulasi. Sehingga terdapat sanksi atas setiap pelanggaran terhadap upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya.

Dari perbandingan di atas terlihat bahwa kelestarian lingkungan pada objek wisata bahari akan lebih terjaga jika dikelola dengan pengelolaan berkelanjutan dibandingkan jika dikelola secara konvensional.

2. Pariwisata dan ekonomi

Pariwisata yang dikelola secara konvensional pada umumnya dikendalikan dari luar, bukan dari lokal. Berbeda halnya dengan pariwisata berkelanjutan yang dikelola secara lokal. Perbedaan itu secara ekonomi menimbulkan dampak yang berbeda pula. Pengelolaan konvensional cenderung berdampak :

– Kebocoran keuntungan ekonomi. Karena dikelola dan dikendalikan oleh pihak luar, maka keuntungn ekonomi dominan dinikmati oleh pihak luar dan hanya sedikit saja yang dinimati oleh masyarakat lokal. Contohnya terjadi pada Ora Beach di Seram Utara, kabupaten Maluku Tengah. Lokasi Objek wisata Ora Beach telah dikontrak oleh seorang pengusaha dari Maluku yang berdomisili di Jakarta dan dikelola secara konvensional. Mulai dari transportasi (speed) menuju lokasi maupun resort telah dibuat dalam system paket yang keuntungannya masuk pada pengontrak. Masyarakat lokal hampir tidak ada sama sekali yang terlibat dan mendapat keuntungan secara ekonomis.

– Biaya infrastruktur mengambil jatah dari kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. Disebabkan karena keuntungan ekonomi dinikmati oleh pihak tertentu maka upaya pembangunan infrastruktur untuk wilayah di sekitar objek wisata biasanya berasal dari anggaran peruntukan lain seperti pendidikan atau kesehatan.

– Kenaikan harga barang di sekitar lokasi wisata. Dampak ini sangat merugikan masyarakat secara umum. Hanya segelintir orang yang menikmati keuntungan kenaikan harga di sekitar objek wisata yang dikelola secara konvensional tetapi secara umum masyarakat akan dirugikan dengan kenaikan harga barang yang disebabkan tekanan oleh jumlah pengunjung yang semakin banyak.

Lain halnya dengan pengelolaan pariwisata berkelanjutan secara ekonomi akan berkontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD). Pelibatan masyarakat lokal dan focus pemberdayaan masyarakat lokal akan menumbuhkan lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat. Hal tersebut secara otomatis akan berkontribusi pada ekonomi daerah. Selain itu akan tercipta jenis-jenis pekerjaan informal. seperti dicontohkan pada lokasi wisata di Raja Ampat, selain tour guide, juga dibutuhkan kayaking (pengemudi perhau kayak), guide selam, juru masak, kapten kapal, resepsionis dan lain-lain.

3. Pariwisata dan Sosial Budaya

Kelangsungan nilai-nilai sosial dan kelangsungan budaya masyarakat lokal pada lokasi wisata akan sangat dipengaruhi oleh model pengelolaan. Pengelolaan secara konvensional akan mengakibatkan berubahnya atau bahkan hilangnya identitas dan nilai-nilai adat, pertentangan kebudayaan, dan tekanan sosial.

– Berubah atau hilangnya identitas dan nilai-nilai adat Hal ini terjadi karena identitas dan nilai adat dianggap komoditas dan diadaptasikan dengan identitas dan nilai adat pengunjung.

– Pertentangan kebudayaan yang berasal dari ketidaksetaraan ekonomi dan perbedaan perilaku. Tingkat ekonomi pengunjung yang cenderung lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal kerap menyebabkan hambatan dalam komunikasi antara pengunjung dan masyarakat lokal. Selain itu dalam perilaku pengunjung juga cenderung berperilaku yang tidak sesuai budaya lokal dan bahkan bisa dianggap negative oleh masyarakat lokal, misalnya cara bersikap, pakaian yang dikenakan, dan penghargaan terhadap nilai adat dan budaya lokal.

– Tekanan sosial yang berasal dari pengaruh fisik. Sumberdaya yang terbatas yang digunakan bersama oleh pengunjung dan masyarakat lokal akan menimbulkan konflik penggunaan sumberdaya, yang bermuara pada kemunduran budaya masyarakat lokal. Misalnya pada pemanfaatan air bersih, terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya akan menurunkan nilai-nilai kearfian masyarakat lokal yang telah lama dijaga secara turun temurun hanya karena bersaing dengan pengunjung.

Kenyataan yang sebaliknya akan terjadi pada objek wisata yang dikelola secara berkelanjutan. Akan terdapat kontribusi sosial berupa terciptanya lapangan pekerjaan karena pelibatan masyarakat lokal. Dengan demikian, masyarakat yang cenderung melakukan emigrasi untuk mencari pendapatan di daerah lain justru akan memilih tetap tinggal karena adanya lapangan kerja baru dari pariwisata. Masyarakat juga akan merusaha meremajakan dan menghidupkan kembali budaya lokal karena hal itu menjadi salah satu sajian yang akan disuguhkan kepada para pengunjung. Dengan demikian, warisan nilai budaya lokal akan meningkat dan terlindungi.

 

D. Wisata Bahari dan Kawasan Konservasi Perairan

Luasnya wilayah pantai dan banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia menjadikan Indonesia sangat kaya dengan potensi wisata bahari atau laut. Keindahan itu telah dinikmati oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Sebagian bahkan telah turut dinikmati oleh masyarakat mancanegara karena sudah terkenal ke luar negeri seperti halnya Bali, Bunaken, Raja Ampat dan masih banyak lagi objek wisata bahari terkenal lainnya. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan, maka dirasakan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya, yang sesungguhnya sudah terdapat dalam kearifan lokal setiap daerah. Hal ini kemudian disadari ketika kenyataan menunjukkan bahwa telah banyak wilayah Indonesia yang mengalami degradasi lingkungan, dan disisi lain masih banyaknya warga masyarakat yang hidup kekurangan ditengah-tengah kelimpahan sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam berpotensi wisata. Hal tersebut kemudian menumbuhkan semangat untuk memproteksi sumberdaya alam melalui seperangkat aturan-aturan yang disepakati bersama. Muncullah kemudian konsep perlindungan kawasan berbasis konservasi yang dikenal dengan kawasan konservasi perairan atau marine protected area (MPA).

Konsep perlindungan kawasan perairan ini lahir dan dibangun berdasarkan kearifan-kearifan lokal suatu wilayah atau daerah. Dan oleh pemerintah pusat kemudian dikuatkan melalui regulasi yang dikenal dengan KKP atau kawasan konservasi perairan. Selain itu, pemerintah pusat juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan hal yang sama yakni membuat kawasan konservasi perairan daerah, dan meminta usulan untuk penetapan KKP di daerah yang belum terbentuk KKP. Sehingga saat ini sudah terdapat beberapa KKP dan KKPD di Nusantara, yang keberadaanya sedikit banyak telah membantu upaya pelestarian sumberdaya.

Keberadaan Kawasan konservasi perairan akan sangat tepat jika dimanfaatkan untuk pengelolaan pariwisata bahari. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh sekaligus jika dalam suatu kawasan konservasi dibangun pariwisata berkelanjutan. Pariwisata telah menjadi aktivitas ekonomi penting baik untuk wilayah di dalam KKP maupun sekelilingnya di seluruh dunia. Pariwisata berkelanjutan yang direncanakan dengan baik menciptkan peluang bagi pengunjung untuk belajar mengenai konservasi laut dan menghargai masyarakat lokal dengan budayanya. Pariwisata berkelanjutan dapat menghasilkan pendapatan untuk KKP dan masyarakat lokal. Setelah masyarakat lokal merasakan manfaat dari KKP maka mereka kemudian terdorong untuk ikut melestarikan sumber daya alam.

 

E. Kesimpulan

Mengetahui perbedaaan pengelolaan secara konvensional dan pengelolaan berkelanjutan, menjadi jelas bahwa untuk melestarikan sebuah objek wisata maka sebaiknya dikelola secara berkelanjutan. Dengan pengelolaan berkelanjutan, selain keuntungan ekonomi yang dinikmati tidak hanya segelintir orang, juga kelestarian lingkungan lebih terjaga karena adanya aspek pendidikan/penyadaran dan regulasi kepada pengunjung dan masyarakat lokal, juga menjaga kelestarian nilai sosial dan budaya lokal.

Perencanaan efektif dari pariwisata berkelanjutan berusaha untuk memaksimalkan manfaat bagi masyarakat lokal dan meminimalkan biaya pada tingkat lokal, namun masih layak secara ekonomi. Demikian halnya dengan wisata bahari yang banyak di Indonesia, idealnya jika pariwisata bahari itu dikelola secara berkelanjutan dan mendorong terbentuknya kawasan konservasi perairan (KKP). Bagaimana mewujudkan pengelolaan pariwisata berkelanjutan untuk objek wisata di dalam KKP, kuncinya adalah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan seperti kementerian terkait (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemenparekrap, Perhubungan, PU dll), dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, NGO, LSM, tokoh adat, tokoh agama, masyarakat, operator wisata dan lain-lain. Dengan pelibatan segenap stakeholder akan lahir mekanisme pengelolaan yang tepat, regulasi yang sesuai dan menciptakan kesimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan pada masyarakat dan lingkungan. Pengelolaan pariwisata dalam kawasan konservasi perairan ini kemudia bisa menjadi pilot project untuk pengelolaan pariwisata di daerah lain yang belum terbentuk KKPnya atau bahkan di objek wisata di darat sekalipun. Kuncinya pariwisata berkelanjutan tidak pernah lepas dari tiga komponen utama (triple bottom line) yaitu ekonomi, ekologi dan sosio-cultural. Dengan penerapan konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan diharapkan masyarakat akan semakin maju, lingkungan lestari, budaya luhur tetap terjaga dan bangsa kita semakin maju. Semoga…!

Ambon, 2013

Agussalim

 

 

Baca Juga

Penilaian DUPAK Penyuluh Perikanan Dihadiri Kapuslatluh dan Kadis Perikanan Ambon

Senin, 22 Februari 2021, pada kesempatan membuka acara Penilaian Angka Kredit Penyuluh Perikanan Satminkal BPPP …

One comment

  1. Artikel ini sangat menarik, dan sesuai kondisi kekinian dimana dibutuhkan upaya melestarikan sumberdaya ditengah pesatnya industri pariwisata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *